Jump to content

Talk:Jemieliste, Podlaskie Voivodeship

Page contents not supported in other languages.
From Wikipedia, the free encyclopedia

proposal monitoring kesehatan larva udang vannamei ==

                          MONITORING KESEHATAN LARVA UDANG VANNAMEI (Litopenaus 
                          Vannamei) DI PT. SURI TANI PEMUKA (STP)UNIT HATCHERY 
                                   BANYUWANGI DESA SELOGIRI KECAMATAN 
                                      KETAPANG KABUPATEN BANYUWANGI 
                                          PROVINSI JAWA TIMUR 


                               PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANG (PKL) IV
                               JURUSAN TEKNOLOGI BUDIDAYA  PERIKANAN
                                       TAHUN AKADEMIK 2013/2014











                                                     oleh:
                                                 DEDE HERMAWAN
                                              NIT.  10. 3. 02. 097




                                        KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
                                   BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN 
                                             AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO
                                                        2013


                                                   LEMBAR PENGESAHAN

Judul  : Monitoring Kesehatan Larva Udang Vannamei (Litopenaus Vannamei) di PT. Suri Tani Pemuka (STP)

             Unit    Hatchery Banyuwangi Desa Selogiri Kecamatan Ketapang Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur

Nama  : Dede Hermawan

NIT  : 10.3.02.097

Jurusan  : Teknologi Budidaya Perikanan


                      Proposal Ini Disusun Sebagai Salah Satu Syarat
                  Untuk Melaksanakan Kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) IV
                          Jurusan Teknologi Budidaya Perikanan
                               Akademi Perikanan Sidoarjo
                                Tahun Akademik 2013/2014


                                        Menyetujui,


    	Dosen Pembimbing I                                    Dosen Pembimbing II


    Drs. Djoko Surahmat, M.P.             	            Agus Widodo, S.Pi., M.T.
    Tanggal:                                               Tanggal:


                                        Mengetahui,
                                     Ketua Jurusan TBP


                             Dr. Muh. Hery Riyadi A., S.Pi., M.Si.
                                  NIP. 19470304 199903 1 002


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal Praktek Kerja Lapang IV ini tepat pada waktunya. Dengan tersusunnya Proposal Praktek Kerja Lapang IV ini penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Endang Suhaedy, A.Pi., MM, M.Si. selaku Direktur Akademi Perikanan Sidoarjo yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melaksanakan PKL IV. 2. Bapak Dr. Muh. Hery Riyadi A., S.Pi., M.Si. selaku Ketua Jurusan Teknologi Budidaya Perikanan yang telah memberikan petunjuk dan memfasilitasi jalannya PKL IV. 3. Bapak Drs. Djoko Surahmat, M.P. dan Bapak Agus Widodo, S.Pi., M.T. selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah memberikan arahan dan bimbingannya dalam penyusunan proposal ini. 4. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Penyusunan Proposal Praktek Kerja Lapang IV ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Proposal ini masih ada bahkan banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan Proposal ini.


Sidoarjo, November 2013


Penulis


DAFTAR ISI

   	             					                              Halaman	

COVER i LEMBAR PENGESAHAN ii KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI iv DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Maksud dan Tujuan 2 1.2.1 Maksud 2 1.2.2 Tujuan 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Vannamei 3 2.1.1 Klasifikasi 3 2.1.2 Morfologi 3 2.1.3 Sifat dan Tingkah Laku 4 2.2 Penyakit Udang 5 2.2.1 Pengertian penyakit 5 2.2.2 Jenis Penyakit 5 2.2.3 Penyebab Penyakit 7 2.3 Pencegahan 7 2.3.1 Persiapan Bak 7 2.3.2 Treatmen Air 8 2.3.3 Penerapan Teknologi Biosecurity 9 2.4 Monitoring 10 2.4.1 Secara Makroscopis 10

        2.4.1.1  Aktifitas Renang Larva		  10

2.4.1.2 Moulting 11

        2.4.1.3  Kotoran		  11
        2.4.1.4  Tes Stressing		  12
        2.4.1.5  Variasi Ukuran		  13

2.4.2 Secara Mikroscopis 13

        2.4.2.1  Perkembangan Stadia Larva		  13
        2.4.2.2  Isi Usus		  16
        2.4.2.3  Lipid		  16
        2.4.2.4  Bolitas		  18
        2.4.2.5  Hepatopankreas		  18
        2.4.2.6  Epibion		  19
        2.4.2.7  Necrosis		  20
        2.4.2.8  Gut Muscle Ratio		  20

2.5 Perlakuan Sampel Stelah Pengamatan 21

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 22 3.2 Metode PKL 22 3.3 Sumber Data 22 3.4 Teknik Pengumpulan Data 23 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 23 3.6 Analisis Data 24

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Karakteristik Patogen 6


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Morfologi Udang Vannamei 4 2. Stadia Naupli 14 3. Stadia Zoea 14 4. Stadia Mysis 15 5. Stadia Post Larva 15


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halamam 1. Rencana Kegiatan PKL-4 27 2. Tabel Diskusi 28 3. Daftar Kuisioner 31 4. Tabel Pakan 34 5. Tabel Parameter Kualitas Air 35


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Usaha budidaya ikan laut sampai sekarang menunjukkan peningkatan yang semakin pesat. Perkembangan ini memacu kegiatan distribusi induk dan benih dari satu daerah ke daerah lain. Kegiatan ini berpotensi dalam penyebarluasan hama dan penyakit ikan baik pada usaha budidaya ataupun akibat dari distribusi ikan. Serangan wabah hama dan penyakit ikan dapat menyebabkan kematian massal atau dapat menurunkan produksi serta menurunkan kualitas produk. Dalam usaha budidaya yang intensif, penerapan system pengelolaan kesehatan udang yang efektif, efisien dan diterima oleh masyarakat merupakan suatu kebutuhan untuk tercapai keberhasilan usaha. Efektifitas system pengelolaan kesehatan udang yang diterapkan dalam sebuah usaha budidaya tidak terlepas dari pengetahuan tentang diagnose, konsep dasar kejadian serta penanggulangan penyakit (Balai Budidaya Laut Lampung, 2002). Jenis penyakit yang menyerang larva selama proses pemeliharaan yaitu vorticella, jamur merah, dan necrosis. Pencegahan yang dilakukan agar tidak terjadi kontaminasi terhadap penyakit yaitu dengan melakukan treatmen air media menggunakan EDTA dan trefflan, penerapan teknologi biosecurity, penyemprotan larutan formalin, penyiraman kaporit pada lantai ruang pemeliharaan, dan fungigasi. Untuk mengetahui kondisi dan perkembangan larva dilakukan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis dilakukan dengan cara visual untuk mengetahui kondisi tubuh larva, sisa pakan, dan kotoran. Sedangkan pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan bantuan mikroskop untuk mengetahui morfologi tubuh larva, keberadaan parasit dan patogen, serta menilai kondisi kesehatan tubuh larva (Scoring Health Larvae). Penilaian kesehatan larva meliputi presentase isi usus, presentase cadangan lemak (lipid doplet), Bolitas HP, Bolitas GI, ada tidaknya penempelan pada tubuh larva (Epibion), ada tidaknya luka pada tubuh larva (Necrosis), pigmentasi, dan Good Muscle Ratio/GMR (Perbandingan antara otot dengan usus). www.tigor46.blogspot.com (2013)

1.2 Maksud Dan Tujuan 1.2.1 Maksud

Maksud Praktek Kerja Lapang (PKL) IV adalah :

1. Mengikuti kegiatan secara langsung teknik pengamatan kesehatan larva udang vannamei di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi. 2. Mempelajari lebih detail tentang prosedur pengamatan kesehatan larva udang vannamei dari pengambilan sampel sampai perlakuan sampel setelah pengamatan. 3. Memperoleh data teknis dan finansial tentang kegiatan monitoring kesehatan larva udang vannamei. 1.2.2 Tujuan

Tujuan Praktek Kerja Lapang (PKL) IV adalah :

Untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan tentang monitoring kesehatan larva udang vannamei di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Udang Vannamei 2.1.1 Klasifikasi Menurut Haliman, R. W dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Artrhopoda Subfilum : Crustacea Kelas : Malascostraca Subkelas : Eumalacostraca Superordo : Eucarida Ordo : Decapoda Subordo : Dendrobrachiata Famili : Penaeidae Genus : Litopenaeus Spesies : Litopenaeus vannamei 2.1.1 Morfologi Menurut Holthuis (1980) dalam Tim karya tani mandiri (2009), udang vannamei (Litopenaeus vannamei) memiliki tubuh yang dibalut kulit tipis keras dari bahan chitin berwarna putih kekuning-kuningan dengan kaki berwarna putih. Tubuh udang putih dibagi menjadi dua bagian besar, yakni bagian :

1. Cephalothorax yang terdiri atas kepala dan dada. 2. Abdomen yang terdiri atas perut dan ekor. Cephalotorax dilindungi oleh kulit chitin tebal yang disebut juga dengan karapas (carapace). Bagian cephalotorax ini terdiri atas lima ruas kepala dan delapan ruas dada, sementara tubuhnya (abdomen) terdiri atas enam ruas dan satu ekor (telson). Bagian depan menjorok merupakan kelopak kepala yang memanjang dengan bagian pinggir bergerigi yang disebut juga dengan cucuk (rostrum). Bagian rostrum ini bergerigi dengan 9 gerigi pada bagian atas dan dua gerigi pada bagian bawah. Sementara itu, di bawah pangkal kepala terdapat sepasang mata. Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan pertumbuhan normal mempunyai laju pertumbuhan panjang 1,43 mm/hari dan pertumbuhan berat sebesar 0,28 gram/hari. Gambar 1. Morfologi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).




Sumber : Haliman, R. W dan Adijaya (2005).


2.1.3 Sifat dan Tingkah Laku Sifat-sifat penting udang vannamei (Litopenaeus vannamei) menurut Haliman, R. W dan Adijaya (2005), adalah sebagai berikut : a. Aktif pada kondisi gelap (nocturnal). b. Suka memangsa sesama jenis (kanibal). c. Tipe pemakan lambat, tetapi terus menerus (continous feeder). d. Menyukai hidup didasar (bentik). e. Mencari makan lewat sensor (hemoreceptor). f. Dapat hidup pada kisaran salinitas lebar (euryhalyne). g. Ganti Kulit (moulting). Udang mempunyai kerangka luar yang keras (tidak elastis). Oleh karena itu, untuk tumbuh menjadi besar udang perlu membuang kulit lama dan menggantinya dengan kulit yang baru.

2.2 Penyakit Udang 2.2.1 Pengertian penyakit Penyakit adalah gangguan pada fungsi atau struktur organ atau bagian tubuh ikan. Pengetahuan tentang penyakit udang dirasakan sangat penting manakala wabah penyakit udang telah menyebabkan kegagalan dan kehilangan yang sangat bermakna. Kegagalan budidaya perairan akibat penyakit tidak disebabkan oleh factor tunggal, akan tetapi merupakan hasil interaksi yang sangat kompleks antara udang (kualitas, stadia rawan), lingkungan, organism dan kemampuan tenaga teknis (Balai Budidaya Laut Lampung, 2002). 2.2.2 Jenis penyakit Penyakit didefinisikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi, dan atau fungsi yang mengalami perubahan dari kondisi normal karena beberapa penyebab, dan terbagi atas dua kelompok yaitu penyebab dari dalam (internal) dan luar (eksternal). Penyakit ikan umumnya adalah eksternal.

Penyakit internal : genetik, sekresi internal, imunodefisiensi, saraf dan metabolik (Yuasa dkk, 2003). Penyakit eksternal meliputi :

A) Non patogen 1. Penyakit lingkungan : suhu dan kualitas air lainnya (pH, kelarutan gas, zat beracun). 2. Penyakit nutrisi : kekurangan nutrisi, gejala keracunan bahan pakan. B) Patogen, bersifat parasit dan terdiri atas empat kelompok yaitu : 1. Penyakit viral 2. Penyakit jamur 3. Penyakit bacterial 4. Penyakit parasit Karakteristik setiap kelompok patogen dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Setiap Kelompok Patogen Karakteristik Virus Bakteri Jamur Parasit 1 2 3 4 5 Ukuran (Penyaring 0,45 µm) 25 - 350 nm (dapat melalui penyaring) 0,6 - 30 µm (tidak dapat melalui penyaring) Besar dari beberapa mikron (tidak dapat melalui penyaring) Besar dari beberapa mikron (tidak dapat melalui penyaring) Reproduksi Transkripsi/reproduksi pada inang DNA / RNA Segmentasi Produksi spora Produksi telur/spora Kultur Pada sel Pada media Pada media Pada umumnya membutuhkan inang hidup Deteksi - Kultur sel, PCR - Secara imunologi - Mikroskop - Kultur pada agar - Mikroskop - Secara imunologi - Kultur pada agar Mikroskop Mikroskop 1 2 3 4 5 Identifikasi - Secara genetik - Secara morfologi a. Secara biokimia b. Secara genetik Secara morfologi Secara morfologi Sumber : Yuasa, dkk, (2003).

2.2.2 Penyebab Penyakit Penyebab penyakit dapat diglolongkan menjadi tua, yaitu penyakit infektif (infectious disease) dan penyakit non infektif (non infectious disease). Penyakit infektif dapat disebabkan karena serangan bakteri, jamur, parasit atau virus. Sedangkan faktor-faktor penyakit non infeksi antara lain kepadatan tinggi, variasi lingkungan (oksigen, temperatur, pH dan salinitas), biotoksin (toksin alga, toksin zooplankton, mitotoksin, dan toksin dari tumbuhan), obstruksi insang, polutan, rendahnya mutu pakan dan akibat penggunaan bahan kimia dalam pengobatan (Balai Budidaya Laut Lampung, 2002).

2.3 Pencegahan pencegahan merupakan mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum kejadian.pencegahan penyakit secara umum ada 4 tingkatan, yaitu : 1. pencegahan tingkat dasar 2. pencegahan tingkat pertama 3. pencegahan sekunder 4. pencegahan tersier http://suckidjiwa.wordpress.com, (2013). 2.3.1 Persiapan Bak Persiapan bak pemeliharaan larva dilakukan dengan cara mencuci bak tahap I menggunakan larutan detergen dan kaporit, kemudian dibilas dan dikeringkan. Selama proses pengeringan dilakukan fungigasi pada ruangan dan bak pemeliharaan larva 2 - 3 hari sebelum penebaran naupli. Satu hari sebelum penebaran naupli dilakukan pencucian bak tahap II menggunakan larutan vircon aquatic. Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pemeliharan larva dibersihkan menggunakan detergen dengan cara menyikat seluruh permukaan dinding bak.

         	Sebelum digunakan, instalasi aerasi dibersihkan menggunakan larutan detergen dan kaporit yang digunakan pada proses pencucian bak. Setelah dicuci, selang aerasi dan batu aerasi direndam dalam larutan formalin selama 24 jam, sedangkan batu pemberat langsung dijemur hingga kering. Sebelum dipasang, selang aerasi direndam dalam larutan formalin. Jarak antar titik aerasi adalah 40 cm dengan jumlah titik aerasi pada modul A 88 titik dan 112 titik pada modul B.  
       	Pengisian air laut dilakukan satu hari sebelum penebaran naupli dengan volume 40 – 60 % dari kapasitas total. Air laut disterilisasi menggunakan chlorin 15 ppm. Air dinetralisasi menggunakan Natrium thiosulfat 7 ppm. Penebaran naupli dilakukan pada siang hari dengan kepadatan 100 ekor per liter. Sebelum dilakukan penebaran, ember yang berisi naupli dicelupkan dalam larutam trefflan 200 ppm, kemudian dilakukan proses aklimatisasi. (http://tigor46.blogspot.com, 2013).

2.3.2 Treatmen Air Sebelum digunakan untuk pembenihan, air harus diberi perlakuan agar bebas dari bakteri pathogen. Adapun tahap perlakuannya adalah air dalam pipa utama ditampung dalam bak penampungan selama semalam. Setelah itu, air dialirkan ke bak penyaring, bak penyaring dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama tidak diberi perlakuan, untuk masuk kebagian kedua melewati pipa penghubung bagian atas. Ruang bagian kedua dilengkapi dengan saringan yang tersusun dari atas ke bawah yaitu busa, lapisan pasir yang sudah bersih, lapisan arang, lapisan ijuk, jaring atau kasa dan lapisan pecahan batu, setelah itu masuk ke ruang ke tiga dilapisan ini juga diberi lapisan penyaring. Kemudian dari bak penyaring pertama, air laut masuk ke bak penyaring ke dua. Pada bagian sudut bak ini diberi saringan seperti pada bak penyaring ke dua. Kemudian tahap terakhir adalah desinfeksi dengan menggunakan sinar ultraviolet. Perlakuan ini bertujuan untuk menghilangkan organisme yang tidak dikehendaki yang mungkin masih lolos melalui saringan. Dan juga dapat desinfeksi dengan ozon. Penggunaan filter karbon aktif, penambahan etilen diamina tetra asetat (EDTA) dan suhu dan salinitas regulasi juga mungkin fitur dari sistem pasokan air. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013) 2.3.3 Penerapan Teknologi Biosecurity Biosekuriti telah didefinisikan sebagai "set praktik yang akan mengurangi kemungkinan pengenalan patogen dan penyebaran selanjutnya dari satu tempat ke tempat lain". Unsur-unsur dasar dari program biosekuriti mencakup metode fisik, kimia dan biologi yang diperlukan untuk melindungi penetasan dari konsekuensi dari semua penyakit yang merupakan risiko tinggi. Biosekuriti yang efektif memerlukan perhatian berbagai faktor, beberapa penyakit tertentu, beberapa tidak, mulai dari murni faktor teknis untuk aspek manajemen dan ekonomi. Berbagai tingkat dan strategi untuk biosekuriti dapat digunakan tergantung pada fasilitas pembenihan, penyakit yang menjadi perhatian dan tingkat risiko yang dirasakan. Tingkat yang tepat dari biosekuriti untuk diterapkan secara umum akan menjadi fungsi dari kemudahan pelaksanaan dan biaya, dibandingkan dengan dampak penyakit pada operasi produksi (Fegan dan Clifford 2001). Operasi pembenihan bertanggung jawab juga harus mempertimbangkan potensi risiko pengenalan penyakit ke lingkungan alam, dan dampaknya pada tetangga operasi dan fauna alami akuakultur. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013) Penerapan biosecurity meliputi : Internal biosecurity meliputi : Membatasi pergerakan udang, karyawan dan peralatan, monitoring kesehatan udang, menggunakan sistem produksi yang aman, meminimalkan masuknya pathogen potensial dan pemindahan (transfer) melalui vector udang. External biosecurity meliputi : Memfilter dan mendesinfeksi sumber air, memverifikasi dan menggunakan induk dan pakan bebas penyakit, membatasi pergerakan udang, karyawan dan peralatan. (DKP, 2006).

2.4 Monitoring 2.4.1 Secara Makroscopis (Visual) 2.4.1.1 Aktifitas Renang Larva Kegiatan renang larva perubahan secara dramatis, tetapi bersifat melalui siklus larva. Zoea l tahap akan berenang cepat dan konsisten ke depan, biasanya dalam lingkaran, filter makan di fitoplankton. Mysis, dengan perbandingan, berenang mundur dengan film intermiten ekor mereka, mempertahankan diri dalam kolom air dan makan secara visual pada phyto-dan zooplankton. PL, sekali lagi beralih ke berenang cepat dan konsisten ke depan, awalnya planktonically, tapi setidaknya dari PL4 - 5 dan seterusnya, benthically, mencari makanan, kecuali dipertahankan dalam kolom air dengan aerasi yang kuat. Di dalam mode yang berbeda dari berenang, jika > 95 % dari larva diketahui dapat berenang aktif, mereka diberi skor 10, jika 70 – 95 % yang aktif, mereka diberi skor 5, dan jika < 70 % aktif, mereka diberi skor 0. Tenaga dari aktivitas berenang harus dinilai sebagai pedoman umum kesehatan postlarval menggunakan teknik yang dijelaskan untuk larva. Larva juga dapat dimasukkan ke dalam mangkuk dan air diaduk dengan jari. Postlarvae sehat harus menyesuaikan diri menghadapi saat ini dan tidak jatuh ke tumpukan di bagian bawah mangkuk, tidak mampu menahan arus. Mereka juga harus merespon menekan sisi mangkuk dengan melompat. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013). 2.4.1.2 Moulting Yaitu suatu proses pergantian kutikula lama digantikan dengan kutikula yang baru. Kutikula adalah kerangka luar udang yang keras (tidak elastis). Oleh karena itu untuk tumbuh menjadi besar udang vannamei perlu melepas kulit lama dan menggantikan dengan kulit baru. (http://daniar-kkp.blogspot.com, 2013). Postlarvae harus diperiksa bahwa larva moulting dengan mudah, tetapi mereka tidak harus moulting bila ditujukan untuk panen dan transportasi, karena ini akan mengurangi tingkat kelangsungan hidup selama waktu kritis. Juga memeriksa bahwa tidak ada moults menempel di kepala PL, sehingga antena ditekuk dan hambatan makan, dan akhirnya kelaparan dan kematian. Hal ini biasanya disebabkan oleh makanan yang tidak memadai, kualitas makanan miskin dan / atau penyakit bakteri biasanya terkait dengan kualitas air yang buruk. Dengan demikian, peningkatan pertukaran air dan revisi protokol makan dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013). 2.4.1.3 Kotoran Selama tahap l Zoea, ketika Zoea tersebut makan hampir secara eksklusif pada ganggang, string feses panjang dapat dilihat memproyeksikan dari anus dan longgar dalam kolom air. Ketika 90 – 100 % dari larva memiliki panjang ini, string terus menerus sepanjang tabung pencernaan, melalui tubuh mereka dan terus luar, mereka dianggap baik makan dan diberi skor 10. Bila 70 – 90 % memiliki string ini, atau mereka pendek atau terputus-putus, mereka diberi skor 5, dan ketika <70 % larva memiliki string ini, larva tidak makan dan mereka diberi skor 0. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013). Masalah nyata pada system akuakultur intensif adalah cepatnya terkumpul sisa pakan, bahan organic dan senyawa nitrogen toksik. Hal ini dapat dihindari karena udang memanfaatkan hanya 20 - 30 % nutrient pakan. Sisanya dikeluarkan dari tubuh udang dan umumnya terkumpul dalam air. Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan penumpukkan kandungan amoniak dan limbah bahan organic dalam air bak. Harus dilakukan pergantian air sebanyak 40% dari volume total. meskipun melalui manajemen yang sangat baik, pakan yang diberikan kepada ikan pasti akan menimbulkan limbah. Dari 100 unit pakan yang diberikan kepada udang, biasanya sekitar 10 % limbah padatan dan 30 % limbah cair yang dihasilkan udang. (http://iqbal-berbagi.blogspot.com, 2013). 2.4.1.4 Tes Stressing

Pada saat panen, atau setelah postlarvae mencapai PL10, stress test dapat dilakukan. Ada beberapa tes stres, dan metode yang paling umum adalah untuk menempatkan sampel yang dipilih secara acak dari sekitar 300 hewan dalam gelas dengan air pada 0 ppt salinitas, meninggalkan mereka selama 30 menit dan kemudian mengembalikan mereka ke 35 ppt (atau ambien) air lagi 30 menit. Setelah ini, para korban dihitung dan persentase individu-individu resisten dihitung. Stress test tidak harus dilakukan ketika postlarvae tersebut moulting, karena mereka terlalu menekankan pada saat ini. Beberapa penetasan telah menggunakan 100 ppm formalin selama 30 menit sebagai tes stres, dengan keberhasilan yang sama. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013).

2.4.1.5 Variasi Ukuran

Untuk menentukan variasi ukuran, mengukur secara individual panjang minimal 50 postlarve dan menghitung panjang rata-rata dan standar deviasi. Koefisien variasi (CV) diperoleh dengan membagi standar deviasi dengan mean. Jika CV adalah sama dengan atau kurang dari 15 %, variasi ukuran dianggap rendah (skor 10), jika CV adalah antara 15 – 25 %, variasi ukuran sedang (skor 5), dan jika itu lebih besar dari 25 % variasi ukuran tinggi (skor 0).

Ketika postlarvae moulting, itu adalah normal bahwa CV akan meningkat, sehingga waktu di mana CV ditentukan harus dipertimbangkan. Jika CV yang ditemukan tinggi, tes harus diulang setelah sehari untuk memberikan waktu bagi seluruh penduduk untuk menyelesaikan moulting. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013).

2.4.2 Secara Mikroscopis (Mikroskop) 2.4.2.1 Perkembangan Stadia Larva a. Naupli ( N1 – N6 ) Bentuk seperti laba-laba, tubuh terdiri atas karapas dan pada N6 abdomen atau perut sudah mulai tampak, selain itu pada substadia ini sudah ada bintik mata di bagian depan. Naupli memakan kuning telur yang masih terdapat di dalam tubuhnya (Elovaara, 2001). Gambar stadia naupli dapat dilihat pada Gambar 2.


Gambar 2. : Stadia Naupli Pada Udang Vannamei

Sumber : (Elovaara, 2001)

b. Zoea 1-3 Pada Zoea 1 tubuh sudah tampak terbagi atas karapas yang berbentuk bulat dan abdomen yang memanjang. Di ujung terdapat sebuah bintik mata. Pada Zoea 2 pada ujung depan karapas terdapat sepasang mata, sebuah rostrum dengan duri-durinya dan abdomen yang semakin panjang, dan pada Zoea 3 pada ujung belakang abdomen, sepasang uropoda mulai berkembang. Zoea 1 dan 2 memakan mikroalga, dan Zoea 3 mulai memakan Artemia (Elovaara, 2001). Gambar stadia zoea dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. : Stadia Zoea Pada Udang Vannamei

Sumber : (Elovaara, 2001).

c. Mysis 1-3 Mysis I bentuk badan sudah seperti udang dewasa, Mysis II tunas pleupoda mulai tampak nyata tetapi belum beruas-ruas, Mysis III pleupoda bertambah panjang dan beruas-ruas. Mysis bersifat omnivor, yakni memakan mikroalga dan zooplankton (Elovaara, 2001). Gambar stadia mysis dapat dilihat pada Gambar 4 Gambar 4. : Stadia Mysis Pada Udang Vannamei.

Sumber : (Elovaara, 2001).

d. Post Larva Pada stadia ini sudah mirip udang dewasa, umumnya telah memiliki pleupoda yang sempurna dan berambut untuk berenang. Pada fase akhir dari Post larva sudah dapat ditebar di tambak (Elovaara, 2001). Gambar post larva dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. : Stadia Post Larva Pada Udang Vannamei

2.4.2.2 Isi Usus

Isi usus dapat diamati pada tahap larva tua. Usus terlihat sebagai garis gelap dari hepatopankreas di wilayah kepala larva yang mudah diamati pada larva diadakan dalam wadah yang jelas, seperti sebuah gelas kaca. Hal ini berguna sebagai panduan untuk makan larva dan ketersediaan pakan. Jika sebagian besar larva diamati penuh, skor 10 diberikan, jika setengah dari larva memiliki makanan di usus, skor 5 diberikan, dan jika < 20 % dari larva memiliki makanan di usus, skor adalah nol.
Pemeriksaan pada saluran usus untuk isinya dan penampilan (bukan hanya warna) harus dilakukan untuk menilai tingkat makan PL yang sesuai dengan kriteria. Kehadiran nyali kosong mungkin merupakan tanda pertama penyakit, atau mungkin hanya karena makan yang tidak memadai. Dalam kedua kasus, itu harus diselidiki secepatnya. Hal ini penting untuk memeriksa postlarvae segera setelah sampling.
Pemeriksaan mikroskopis daya tinggi dari saluran usus postlarvae harus dilakukan untuk memastikan aktivitas peristaltik otot usus. Peristaltik usus yang kuat, dalam kombinasi dengan usus penuh, merupakan indikasi kesehatan yang baik dan status gizi yang tinggi. 

(http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013).

2.4.2.3 Lipid Lipida diklasifikasikan sebagai berikut: a. Lemak, adalah suatu ester asam lemak dengan gliserol dan merupakan simpanan energi utama dalam tubuh hewan. Lemak adalah substrat yang terdapat dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Lemak tidak dapat larut dalam air tetapi dapat larut dalam bahan organik umum seperti benzene, eter dan kloroform. Bahan organik tersebut bekerja sebagai pembawa electron dan pembawa substrat pada reaksi-reaksi enzim dan sebagai komponen membran biologi dan penyuplai energi. Pada analisa bahan pakan, bahan organik tersebut terkandung dalam fraksi ekstrak eter. b. Phospholipids, adalah ester-ester asam-asam lemak dan asam phosphatidic. Senyawa-senyawa tersebut merupakan bagian utama lipida dari membran selllular yang menjadikan permukaan membran menjadi hydrophobic (tidak larut dalam air) atau hydrophylic (larut dalam air) tergantung pada pemindahan zat antara lingkungan luar dan dalam. c. Sphingomyelins, merupakan ester-ester asam-asam lemak dan sphingosine . Senyawa ini didapatkan di otak dan jaringan saraf. d. Waxes (lilin). Jika asam lemak diesterifikasi dengan alkohol monohidrat yang mempunyai berat molekul besar, sebagai pengganti gliserol, senyawa yang dihasilkan mempunyai titik lebur tinggi dan disebut lilin. Lilin dapat diperoleh dari lebah madu dan dari ikan paus atau lumba-lumba. Lilin lebah dikeluarkan oleh lebah madu untuk membentuk sarang tempat menyimpan madu. Lilin lebah adalah campuran beberapa senyawa, terutama mirisilpalmitat. e. Sterol, berfungsi sebagai komponen beberapa sistem hormon, terutama pematangan sexual dan yang berhubungan dengan fungsi fisiologis. Lemak dan minyak dalam makanan sering disebut lipida. Dasar perbedaan antara lemak dan minyak yaitu, mengenai titik cairnya (melting point). Lemak mempunyai rantai molekul yang panjang jika dibandingkan dengan minyak. Lemak merupakan bentuk utama penyimpanan energi dalam organisme hidup, dan mempunyai nilai energi tertinggi per unit berat. Struktur lemak dari jaringan tubuh hewan, terutama phospolipid, tersusun antara 0,5 – 1 % dari jaringan otot dan adipose tetapi konsentrasi dalam hati biasanya antara 2 - 3 %. Fraksi-fraksi terpenting non-gliserid, lipid dari jaringan tubuh hewan terbuat dari kolesterol dan ester yang bersama-sama menyusun 0,06 - 0,09 % dari jaringan otot dan adipose. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013).

2.4.2.4 Bolitas

Bolitas adalah nama yang diberikan kepada Spanyol sindrom melibatkan detasemen sel epitel dari usus dan hepatopankreas, yang ditampilkan sebagai bulatan kecil di dalam saluran pencernaan. Hal ini diyakini disebabkan oleh bakteri dan dapat berakibat fatal. Beberapa keberhasilan dalam mencegah "Bolitas" kondisi telah dicapai oleh tebar cepat penetasan (dalam waktu tiga sampai empat hari), penggunaan probiotik, dan kesehatan yang baik dan praktek manajemen makan. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013)

2.4.2.5 Hepatopankreas

Hepatopangkreas postlarvae harus diperiksa untuk kondisi umum, yang terutama ditunjukkan dengan jumlah vakuola lipid dan ukuran secara keseluruhan. Kehadiran hepatopancreas relatif besar dengan sejumlah besar vakuola lipid dianggap sebagai tanda kesehatan yang baik. Postlarvae dengan hepatopancreas kecil berisi beberapa vakuola lipid adalah tanda bawah makan, dan ditingkatkan makan sebelum panen mungkin diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas.

Hepatopankreas tidak harus transparan dan harus memiliki warna yang baik. Biasanya, itu harus kuning gelap besi atau oker dalam warna, namun warna hepatopankreas dapat sangat dipengaruhi oleh kualitas dan warna dari dosis pakan dan tank yang digunakan. Sebuah hepatopankreas berwarna gelap umumnya menunjukkan kesehatan yang lebih baik. Perawatan harus diambil ketika menggunakan beberapa feed serpihan, karena ini mungkin berisi pewarna yang noda hepatopancreas hampir hitam, tanpa harus memberikan kontribusi untuk kesehatan udang. Kondisi hepatopankreas memberikan indikasi makan larva dan pencernaan. Hal ini diamati menggunakan preparat basah dari sampel larva pada slide mikroskop dengan perbesaran 40 X. Dalam larva sehat menunjukkan pemberian makan secara aktif dan pencernaan, hepatopangkreas dan midgut akan penuh kecil, mudah diamati gelembung (pencernaan atau "lipid" vakuola) dan peristaltik yang kuat akan terlihat dalam usus. Jika 90 % atau lebih dari udang sampel menunjukkan vakuola lipid melimpah dan / atau usus penuh, skor 10 diberikan, jika sampel menunjukkan 70 – 90 % dari individu dengan vakuola lipid dan / atau usus cukup penuh, skor dari 5 diberikan, dan jika kurang dari 70 % dan usus kosong, skor adalah nol. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013).

2.4.2.6 Epibion

Postlarvae harus diperiksa untuk setiap epibiont atau fouling bahan organik pada exoskeleton atau insang (biasanya terdiri dari protozoa seperti Zoothamnium, Vorticella, Epistylis atau Acineta, bakteri berserabut atau kotoran dan bahan organik). Fouling biasanya dapat moulted off atau diobati dengan formalin sampai dengan 20 - 30 ppm selama satu jam (dengan aerasi penuh).

Larva dapat menjadi tuan rumah bagi berbagai organisme fouling mulai dari bakteri dan jamur melalui protozoa dari banyak spesies. Ini biasanya akan menempel pada exoskeleton pada kepala dan tubuh, dan khususnya di sekitar insang larva. Dimana infeksi yang sedikit, yang mabung berikutnya dapat menghapus fouling tanpa masalah lebih lanjut, tetapi dalam kasus yang parah, fouling akan bertahan atau terulang di tahap selanjutnya, menunjukkan kualitas air yang buruk dan memerlukan tindakan. Dimana fouling tidak hadir, skor 10 diberikan, jika < 15 % memiliki fouling sementara atau permanen, skor 5 diberikan, dan jika > 15 % yang mengotori terus menerus, skor 0 diberikan. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013).

2.4.2.7 Necrosis

Postlarvae harus diperiksa untuk berbagai kelainan seperti mimbar tertekuk, kepala membesar karena masalah molting, atau anggota badan hilang atau rusak karena infeksi bakteri, untuk memperkirakan kesehatan umum. Beberapa cacat yang fatal. tubuh larva dan anggota badan, yang merupakan indikasi dari kanibalisme atau infeksi bakteri mungkin, dapat diamati dengan mikroskop cahaya di bawah daya rendah. Jika tidak ada nekrosis, skor 10 diberikan, dimana < 15 % dari hewan menunjukkan beberapa nekrosis, skor 5 diberikan, dan di mana > 15 % menunjukkan nekrosis, menunjukkan infeksi berat hadir, skor 0 adalah diberikan.

Postlarva harus diperiksa untuk melanisasi, yang sering terjadi di mana anggota badan telah dikanibal atau di mana infeksi bakteri terjadi. Melanisasi berlebihan adalah penyebab keprihatinan dan membutuhkan pengobatan melalui kualitas air dan pemberian makanan tambahan rezim, dan kadang-kadang pengurangan padat penebaran, untuk mencegah kanibalisme dan mengurangi beban bakteri. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013). 2.4.2.8 Gut Muscle Ratio (GMR)

Pemeriksaan mikroskopis dari ketebalan relatif dari otot perut ventral dan usus di segmen perut ke-6 ekor benur harus dilakukan untuk menentukan otot untuk usus rasio. Hal ini memberikan indikasi yang berguna dari status gizi hewan. Otot tinggi untuk usus rasio lebih baik. Otot ventral di segmen perut ke-6 di bawah usus adalah salah satu yang terbesar di post larva udang. Rasio antara lebar otot ini dan lebar usus telah diusulkan dan digunakan dalam kontrol kualitas PL (Otot Gut Rasio 4 : 1 berdasarkan perbandingan dengan posting liar larva). Namun, dalam prakteknya, ditemukan bahwa pengukuran ini bisa sulit karena pergerakan udang pada slide. Kematian PL juga menyebabkan terjadinya perubahan mortem yang tidak mencerminkan kondisi sebenarnya dari otot. Untuk mengatasi hal ini, kami menggunakan kriteria 50 %. Jika otot merupakan kurang dari 50 % dari lebar ekor pada titik tengah dari segmen perut 6 th kualitas tidak dapat diterima. Lebih dari 50 % diterima. 

(http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013).

2.5 Perlakuan Sampel Setelah Pengamatan Semua air yang dibuang dari hatchery, terutama yang diketahui atau diduga terkontaminasi (misalnya, air yang berasal dari daerah karantina) harus ditangani sementara dan diobati dengan larutan hipoklorit (> 20 ppm klorin aktif selama tidak kurang dari 60 menit) atau disinfektan yang efektif sebelum dibuang. Hal ini sangat penting di mana air untuk dibuang ke lokasi yang sama sebagai titik abstraksi. (http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm, 2013).


III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang IV akan dilaksanakan pada tanggal 2 Desember sampai dengan 14 Desember 2013 bertempat di PT. Suri Tani Pemuka (STP) Unit Hatchery Banyuwangi Desa Selogiri Kecamatan Ketapang Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur.

3.2 Metode Praktek Kerja Lapang Praktek Kerja Lapang IV dilaksanakan dengan metode survei. Menurut Nazir (1988), metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang instusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun daerah. Sedangkan untuk memperoleh keterampilan penulis menggunakan metode magang. Menurut Departemen Pertanian (1985), Metode magang adalah penulis mengikuti serta berpartisipasi secara langsung dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan proses monitoring kesehatan larva udang vannamei yang dilaksanakan di tempat Praktek Kerja Lapang dibawah bimbingan eksternal.

3.3 Sumber Data

Sumber data yang diperoleh dari Praktek Lapang adalah data primer dan sekunder.  

Data primer merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi utama dari kejadian yang lalu (Nazir, 1983). Adapun data primer yang diambil meliputi foto-foto tentang kegiatan monitoring kesehatan larva udang vannamei dan dokumen laporan tahunan bagian unit laboraterium tentang monitoring kesehatan larva udang vannamei. Data sekunder adalah catatan tentang adanya suatu peristiwa, ataupun catatan-catatan yang “jaraknya” telah jauh dari sumber orisinil (Nazir,1983). Jenis data sekunder adalah literatur buku yang digunakan dalam pembahasan tinjauan pustaka, literatur dari internet yang membahas tentang monitoring kesehatan larva udang vannamei.

3.4 Teknik Pengumpulan Data Menurut Nazir (1983), data yang diperoleh diambil dengan cara : a. Observasi Langsung Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan langsung dengan cara pengambilan data dengan menggunkan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Dalam hal ini yang akan diobservasi yaitu kesehatan larva udang vannamei. b. Wawancara / interview Yang dimaksud dengan wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan sipenjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara) atau juga dengan menggunakan daftar kuisioner. Daftar kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 3.

3.5 Teknik Pengolahan Data Menurut Naburko dan Achmadi (2004), data yang telah terkumpul baik data primer maupun sekunder selanjutnya dilkukan pengelolaan data sebagai berikut : 1. Editing Sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit terlebih dahulu, dengan kata lain, dan atau keterangan yang telah dikumpulkan dalam record book. Agar data yang di peroleh dalam hasil pembahasan laporan monitoring kesehatan larva udang vannamei dapat mudah disusun dan dapat di pahami. 2. Tabulating Membuat tabulasi termasuk dalam kerja memproses data. Membuat tabulasi tidak lain memasukkan data kedalam tabel-tabel, dan mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai-bagai kategori. Seperti dalam penyajian data nilai standar kualitas kesehatan larva udang vannamei.

3.6 Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan analisis diskriptif yaitu menyajikan data sesuai dengan informasi yang diperoleh dilapanagan. Menurut Naburko dan Achmadi (2004), analisa deskriptif adalah menyajikan data sesuai dengan keadaan sebenarnya guna mempermudah pengambilan keputusan dalam proses penyusunan laporan tentang monitoring kesehatan larva udang vannamei. SR (Survival rate) Survival rate atau biasa dikenal dengan SR dalam perikanan budidaya merupakan indeks kelulus hidupan suatu jenis ikan dalam suatu proses budidaya dari mulai awal ikan ditebar hingga ikan dipanen. Nilai SR ini dihitung dalam bentuk angka persentase, mulai dari 0 – 100 %. rumusnya yaitu :


Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh induk betina per ekor, sedangkan fekunditas nisbi adalah jumlah telur yang dihasilkan induk betina per satuan berat badan. Tim karya tani mandiri (2009), fekunditas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :



Keterangan : F = Jumlah total telur (F) W = Berat telur total (g) w = Berat telur sampel (g) n = Jumlah total telur yang dihitung saat sampling (butir) Hatching rate (HR) Hatching rate (HR) adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang menetas. Untuk mendapatkan HR sebelumnya dilakukan sampling larva untuk mendapatkn jumlah larva, Tim karya tani mandiri (2009), HR dapat dihitung menggunakan rumus berikut ini :


DAFTAR PUSTAKA

BBL Lampung. 2002. Pengelolaan Kesehatan Ikan Budidaya Laut. Balai Budidaya Laut Lampung. Bandar Lampung.

Daniar. 2011. Manajemen pakan udang vannamei di BBAP situbondo, http://daniar-kkp.blogspot.com/2011/12/manajemen-pakan-udang-vannamei-di-bbap.html [ 29 Oktober 2013]

Departemen Pertanian. 1985. Metodologi Penelitian. Direktorat Bina Pembenihan, Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta.

DKP BPSDM APS. 2006. Sertifikasi ahli budidaya ikan modul II. Dinas Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Figis. 2012. Health management and biosecurity maintenance in white shrimp, http://www.fao.org/docrep/007/y5040e/y5040e08.htm [28 Oktober 2013]

Haliman, R. W dan Adiwijaya. 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.

Iqbal. 2012. Penanggulangan pencemaran amoniak pada tambak udang dengan bioremediasi dan system manajemen kualitas air yang bewawasan lingkungan, http://iqbal-berbagi.blogspot.com/2012/03/penanggulangan-pencemaran-amoniak-pada.html [28 Oktober 2013]

Meta. 2011. Pencegahan Penyakit, http://suckidjiwa.wordpress.com [ 21 Oktober 2013]

Narbuko. C dan Ahmadi. A. 2004. Metodologi Penelitian. Bumi Aksara. Jakarta.

Nazir Moh. 1983. Metode Peneltian. Ghalia. Jakarta.

Tigor. 2011. Pembenihan Vannamei,Narbuko, http://tigor46.blogspot.com [ 20 Okotober 2013]

Tim karya tani mandiri. 2009. Pedoman Budidaya Udang. Nuansa Aulia. Bandung

Yuasa et. al. 2001. Penuntun Diagnosa Penyakit Ikan-II. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol dan Japan International Cooperation (JICA). Bali



Lampiran 1.Rencana Kegiatan PKL-4

NO Uraian Kegiatan Waktu Pelaksanaan HariKe : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 Berangkat Dari Kampus APS √ 2 Tiba Di Lokasi PKL Dan Melapor Kepada Pihak Terkait √ 3 Melaksanakan Kegiatan Praktek Dan Berpartisipasi Dalam Monitoring Kesehatan Larva √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 4 Wawancara Dan Observasi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 5 Analisis Data √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 6 Menyususn Konsep Laporan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 7 Kembali Ke Kampus APS √